Senin, 08 Maret 2010

MENGAPA TERJADI GEMPA BUMI ?

Gempa adalah pergeseran tiba-tiba dari lapisan tanah di bawah permukaan bumi. Ketika pergeseran ini terjadi, timbul getaran yang disebut gelombang seismik4. Gelombang ini menjalar menjauhi fokus3 gempa ke segala arah di dalam bumi. Ketika gelombang ini mencapai permukaan bumi, getarannya bisa merusak atau tidak tergantung pada kekuatan sumber dan jarak fokus, disamping itu juga mutu bangunan dan mutu tanah dimana bangungan ber Dimanakah gempa terjadi ?
Lapisan litosfir7 bumi terdiri atas lempeng-lempeng tektonik9 yang kaku dan terapung di atas batuan yang relatif tidak kaku. Daerah pertemuan dua lempeng atau lebih kita sebut sebagai plate margin atau batas lempeng, disebut juga sesar15. Gempa dapat terjadi dimanapun di bumi ini, tetapi umumnya gempa terjadi di sekitar batas lempeng dan banyak didapat sesar aktif disekitar batas lempeng. Titik tertentu di sepanjang sesar tempat dimulainya gempa disebut fokus3 atau hyposenter dan titik di permukaan bumi yang tepat di atasnya disebut episenter2.diri.

Mengapa terjadi gempa ?
batuan yang relatif dingin dan bagian paling atas berada pada kondisi padat dan kaku. Di bawah lapisan ini terdapat batuan yang jauh lebih panas yang disebut mantel8. Lapisan ini sedemikian panasnya sehingga senantiasa dalam keadaan tidak kaku, sehingga dapat bergerak sesuai dengan proses pendistribusian panas yang kita kenal sebagai aliran konveksi. Lempeng tektonik9 yang merupakan bagian dari litosfir7 padat dan terapung di atas mantel ikut bergerak satu sama lainnya.Ada tiga kemungkinan pergerakan satu lempeng tektonik relatif terhadap lempeng lainnya, yaitu apabila kedua lempeng saling menjauhi (spreading), saling mendekati(collision) dan saling geser (transform).
Jika dua lempeng bertemu pada suatu sesar, keduanya dapat bergerak saling menjauhi, saling mendekati atau saling bergeser. Umumnya, gerakan ini berlangsung lambat dan tidak dapat dirasakan oleh manusia namun terukur sebesar 0-15cm pertahun. Kadang-kadang, gerakan lempeng ini macet dan saling mengunci, sehingga terjadi pengumpulan energi yang berlangsung terus sampai pada suatu saat batuan pada lempeng tektonik tersebut tidak lagi kuat menahan gerakan tersebut sehingga terjadi pelepasan mendadak yang kita kenal sebagai gempa bumi.
Kapan gempa terjadi ?
Gempa dapat terjadi kapan saja, tanpa mengenal musim. Meskipun demikian, konsentrasi gempa cenderung terjadi di tempat-tempat tertentu saja, seperti pada batas Plat Pasifik. Tempat ini dikenal dengan Lingkaran Api karena banyaknya gunung berapi.
Siapa yang mempelajari gempa ?
Seismologist12 adalah ilmuwan yang mempelajari sesar15 dan gempa. Mereka menggunakan peralatan yang disebut seismograf10 untuk mencatat gerakan tanah dan mengukur besarnya suatu gempa. Seismograf memantau gerakan-gerakan bumi mencatatnya dalam seismogram11. Gelombang seismik4, atau getaran, yang terjadi selama gempa tergambar sebagai garis bergelombang pada seismogram. Seismologist mengukur garis-garis ini dan menghitung besaran1 gempa. Seismologist menggunakan skala Richter14 untuk menggambarkan besaran1 gempa, dan skala Mercalli13 untuk menunjukkan intensitas5 gempa, atau pengaruh gempa terhadap tanah, gedung dan manusia.

KOSA KATA GEMPA BUMI
1 Magnitudo – banyaknya energi yang dilepas pada suatu gempa yang tergambar dalam besarnya gelombang seismik di episenter. Besarnya gelombang ini tercermin dalam besarnya garis bergelombang pada seismogram.
2 Episenter – titik di permukaan bumi tepat di atas fokus atau sumber gempa, dinyatakan dalam lintang dan bujut, Hyposenter=parameter sumber gempa bumi yang dinyatakan dalam waktu terjadinya gempa, lintang, bujur dan kedalaman sumber)
3 Fokus – sumber gempa di dalam bumi, tempat batuan pertama patah.
4 Gelombang seismik – getaran gempa yang menjalar di dalam dan dipermukaan bumi dengan cara longitudinal dan transfersal.
5 Intensitas – besarnya goncangan dan jenis kerusakan ditempat pengamatan akibat gempa. Intensitas tergantung dari jarak tempat tersebut dari hyposenter.
6. Kerak bumi – lapisan atas bumi yang terdiri dari batuan padat. Baik tanah di daratan maupun di dasar laut termasuk kerak bumi.
7. Litosfir – lapisan paling atas bumi yang hampir seluruhnya terdiri dari batuan padat. Lapisan ini termasuk kerak bumi dan (sebagian) mantel atas
8 Mantel – Lapisan di bawah kerak bumi yang tediri dari mantel atas dan mantel bawah.
9 Lempeng Tektonik - bagian dari litosfir bumi yang padat atau rigid. Lempeng-lempeng tektonik ini senantiasa bergerak dengan lambat, terapung diatas mantel.
10 Seismograf – peralatan yang menggambarkan gelombang gempa yang datang di stasiun pengamat.
11 Seismogram – catatan tertulis dari getaran bumi yang dihasilkan oleh seismograf.
12 Seismologist – ilmuwan yang mempelajari gempa
13 Skala Mercalli – suatu ukuran subyektif kekuatan gempa dikaitkan dengan intensitas-nya
14 Skala Richter – suatu ukuran obyektif kekuatan gempa dikaitan dengan magnitudo-nya
15 Sesar – patahan atau pemisahan batuan, umumnya di antara dua atau lebih plat tektonik
Saduran dan modifikasi dari SqiQuest
Courtesy DR. Pariatmono (BPPT)

Data Siklus Gempa Masih Langka
Selasa, 3 Januari 2006
PROSES terjadinya gempa bumi pertama kali dapat dijelaskan oleh Reid dengan teori Elastic Rebound-nya. Teori ini menerangkan bahwa pada zona patahan aktif, energi elastik atau strain terakumulasi secara perlahan-lahan selama puluhan sampai ratusan tahun akibat adanya pergerakan relatif di antara kedua blok di kiri-kanan zona patahan tersebut. Akumulasi strain ini kemudian dilepaskan sekaligus dalam satu hentakan keras. Inilah yang disebut peristiwa gempa bumi.
Menurut Reid yang memakai prinsip deformasi elastik murni, siklus gempa mempunyai rentang waktu antargempa dan besar gempa yang selalu sama apabila gaya-gayanya tetap. Tentunya, di alam siklus gempa ini tidaklah benar-benar teratur seperti itu. Perlu diketahui, untuk mendukung teorinya, Reid memakai data gempa bumi dari gempa 1906 di Patahan San Andreas yang menghancurkan kota San Fransisco dan data gempa bumi tahun 1892 dari Patahan Sumatera yang dekat Gunung Sorik Merapi.
Teori "Plate Tectonics"
Kita baru mengerti kenapa gempa bumi banyak terjadi di wilayah-wilayah tertentu saja setelah Dietz dan Hess mengemukakan teori Plate Tectonics tahun 1960. Teori ini memperlihatkan bahwa gempa bumi banyak terjadi di tepian/batas lempeng-lempeng bumi. Teori Plate Tectonics ini juga menjelaskan bahwa bumi kita mempunyai lapisan luar yang padat, dengan ketebalan 15 - 35 km yang seolah-olah mengapung pada bagian dalam yang bersifat cair. Kulit bumi ini terbagi-bagi menjadi beberapa 'lempeng' besar yang saling bergerak relatif satu sama lain.
Batas-batas lempeng-lempeng tersebut prinsipnya ada tiga macam. Pertama, zona pemekaran lantai samudra. Kedua, zona tumbukan dua lempeng, termasuk zona subduksi. Ketiga, zona transform, di mana dua lempeng bergerak satu relatif secara horizontal. Lempeng-lempeng tersebut bergerak karena adanya perbedaan tinggi antara zona pemekaran lantai samudra dan palung (gaya gravitasi) dan arus konveksi pada lapisan bersifat cair di bawah kulit luar bumi yang padat, yaitu pada mantel magma. Akibat adanya pergerakan tersebut, wilayah batas lempeng-lempeng ini menjadi pusat akumulasi energi regangan elastik (stress/strain), sehingga terjadilah banyak gempa bumi.
Pencatat Gempa Seismometer
Alat pertama yang dapat merekam kegiatan gempa bumi adalah seismometer. Alat ini dapat mencatat gelombang getaran yang ditimbulkan oleh gempa. Seismometer umumnya mulai banyak dipasang di berbagai tempat di dunia sejak awal tahun 1900-an. Baru pada tahun 1930-an Professor Charles Francis Richter di Caltech (California Institute of Technology) menemukan cara untuk mengukur besaran gempa, yaitu berdasarkan besarnya amplitudo gempa bumi yang terekam oleh alat seismometer tipe Wood-Anderson pada jarak tertentu dari sumber gempa.
Prinsipnya, besarnya skala magnitudo gempa berbanding lurus dengan besar amplitudo dan berbanding terbalik dengan jarak alat ke sumber gempa. Setelah skala magnitudo Richter ini, kemudian ada beberapa skala magnitudo lain yang dikembangkan oleh para seismolog. Tapi, yang sekarang banyak dipakai adalah skala moment magnitude (Mw). Skala ini dianggap lebih realistik karena paling merepresentasikan sumber gempa bumi.
Pada prinsipnya, besarnya skala Mw berbanding lurus dengan besarnya bidang sumber gempa dan besarnya pergerakan kulit bumi yang terjadi. Global Seismic Network (GSN) mulai dicanangkan sejak 1960-an. Sejak itu penelitian gempa bumi berdasarkan data seismik berkembang dengan pesat sejalan dengan perkembangan teknologi seismometer dan banyaknya jaringan seismik baru yang dipasang di berbagai belahan dunia.
Metoda "Earthquake Geology"
Pada pertengahan tahun 1970-an ilmu earthquake geology, khususnya paleoseismologi mulai diperkenalkan dan kemudian berkembang dengan sangat pesat. Awalnya adalah dari kesuksesan projek paleoseismologi di Pallet Creek, San Andreas Fault. Paleoseismologi adalah metoda untuk mempelajari gempa bumi-gempa bumi yang pernah terjadi di masa lampau berdasarkan data stratigrafi (perlapisan tanah) dan analisis struktur tektoniknya. Sejak itu, metoda paleoseismologi banyak dilakukan di berbagai jalur patahan gempa bumi di dunia. Data paleoseismologi sekarang ini menjadi acuan utama untuk menganalisis potensi gempa bumi dalam usaha mitigasi bencana.
GPS (Global Positioning System)
Sejak tahun 1980-an teknologi GPS geodesi mulai dipergunakan untuk penelitian tektonik dan gempa bumi. Alat GPS dapat memantau pergerakan muka bumi dengan sangat akurat. Namun, baru dalam satu dasawarsa terakhir stasiun GPS kontinyu banyak dipasang di berbagai belahan dunia. Metoda GPS merupakan cara yang sangat andal untuk mempelajari proses gempa bumi. Meski demikian, masih mempunyai kelemahan, yaitu rentang waktu perekaman datanya masih sangat pendek jika dibandingkan dengan siklus gempa besar yang ratusan tahun.
Metoda Paleogeodesi
Metoda paleogeodesi mulai populer setelah dilakukan penelitian terhadap terumbu karang jenis mikroatol yang banyak tumbuh di pulau-pulau dan pantai barat Pulau Sumatra. Mikroatol ini pola pertumbuhannya sangat sensitif terhadap naik-turunnya muka laut yang berkaitan dengan naik-turunnya permukaan bumi karena proses gempa bumi pada zona subduksi di bawahnya.
Meskipun rekaman data paleogeodesi ini tidak seakurat data dari peralatan GPS-geodesi modern, namun rentang waktu perekaman datanya sangat panjang, bisa sampai ratusan bahkan lebih dari 1000 tahun ke belakang. Karena itu, data paleogeodesi ini sangat berguna untuk mengisi kekosongan data dalam mempelajari proses dan siklus gempa bumi.
Pemodelan Fisika
Metoda pemodelan fisika dari sumber dan proses gempa bumi juga berkembang dengan sangat pesat dalam satu dasawarsa terakhir. Hal ini ditunjang oleh kemajuan pesat teknologi komputer. Ada beberapa masalah utama yang biasa menjadi objek pemodelan fisika. Pertama, lokasi, geometri, besar pergerakan (slip), dan mekanisme dari suatu gempa bumi. Kedua, regularitas/irregularitas dari siklus gempa bumi. Ketiga, interaksi antarsumber gempa bumi yang berdekatan, termasuk bagaimana gempa bumi yang terjadi di suatu segmen patahan bisa memicu gempa bumi berikutnya di segmen yang berdekatan. Keempat, kinematika dan dinamika patahan gempa bumi pada waktu sebelum, ketika, dan setelah gempa bumi besar.
Data masih langka
Dari uraian di atas, tersirat jelas bahwa hambatan besar dalam mempelajari/memodelkan gempa bumi adalah kelangkaan data dari siklus gempa bumi yang umumnya mempunyai rentang waktu ratusan tahun. Padahal, catatan sejarah gempa bumi umumnya baru ada sejak 1-2 abad terakhir saja. Itu pun sangat tidak lengkap. Selain itu, data dari peralatan modern pemantau gempa bumi seperti seismometer dan GPS, baru tersedia sejak beberapa puluh tahun terakhir saja. Hal ini menyebabkan banyak model fisika gempa bumi yang dikembangkan orang tidak bisa diuji validitasnya. Data paleogeodesi dari koral mikroatol tentunya sangat bermanfaat untuk mengisi kelangkaan data tersebut.
Singkat kata, sejak beberapa puluh tahun terakhir, ilmu gempa bumi berkembang pesat. Data seismik dan GPS kelihatannya akan menjadi sumber data utama yang akan banyak memecahka permasalahan gempa bumi di masa datang. Namun, untuk saat ini data geologi, khususnya dari paleoseismologi dan paleogeodesi, akan menjadi data penunjang yang sangat penting untuk memahami perilaku kegempaan di suatu daerah.
Indonesia merupakan wilayah yang sangat tinggi aktivitas gempa buminya karena terletak di antara tepi tiga lempeng besar, yaitu Lempeng Hindia-Australia, Lempeng Eurasia (SE Asia), dan Lempeng Pasifik. Pergerakan dari ketiga lempeng tersebut jelas diperlihatkan oleh data GPS modern.
Ironisnya, meskipun Indonesia adalah wilayah yang sangat rentan gempa bumi, penelitian gempa bumi sangat kurang dan nyaris tidak dikenal pemerintah dan masyarakat. Umumnya pengetahuan tentang potensi gempa bumi di berbagai wilayah di Indonesia tidak diketahui. Ini merupakah sebuah tantangan yang harus dijawab.***

Ada Apa dengan Bumi?
Menguak Gempa dan Tsunami
SAMPAI saat ini fenomena Bumi masih merupakan misteri yang sangat sulit untuk dianalisis. Mempelajari riwayat Bumi sepanjang masa merupakan hal yang susah-susah mudah, karena tidak seorang pun dapat memahaminya secara menyeluruh dan utuh.
Betapapun teknologi manusia telah mampu mengirim wahana angkasa luar hingga ke Pluto yang berjarak 5,9 miliar km dari Bumi, namun jari-jari Bumi yang 6.370 km hanya baru mampu ditembus dengan pengeboran sampai kedalaman 10 km saja.
Terjadinya gerhana Matahari dan Bulan, mendekatnya komet ke Bumi serta berbagai peristiwa astronomi lainnya secara amat tepat telah dapat diketahui waktunya sejak jauh-jauh sebelumnya. Akan tetapi peristiwa alam seperti letusan gunung api, gempa bumi, banjir bandang, tsunami dan tanah longsor hampir sama sekali tidak pernah dapat diprediksi kapan saatnya akan tiba. Beragam bencana alam besar yang banyak menelan korban manusia seperti meletusnya Gunung Vesivius pada 24 Agustus 1979, Gunung Krakatau pada 23 Agustus 1883, gempa bumi di T'ang-Shan, China tahun 1976 dan di Kobe, Jepang tahun 1995, tanah longsor di Pasir Gundul Bogor dan banjir bandang di Sungai Bahorok Langkat umatera Utara serta gempa bumi dan tsunami pada 26 Desember 2004 yang baru lalu, merupakan sebagian kecil contoh betapa aktivitas Bumi masih mengandung misteri besar.
Gempa bumi
Gempa bumi atau dalam bahasa Inggrisnya earthquakes merupakan salah satu bencana alam terbesar bagi umat manusia, disamping kejadian alam lainnya seperti letusan gunung api dan banjir. Berbeda sekali dengan letusan gunung api dan bencana alam lain yang selalu didahului dengan tanda tanda atau gejala-gejala yang muncul jauh sebelum kejadian. Gempa bumi selalu datang mendadak secara mengejutkan, sehingga menimbulkan kepanikan umum yang luar biasa karena sama sekali tidak terduga sehingga tidak ada seorang pun yang sempat mempersiapkan diri.
Akibat yang ditimbulkan gempa bumi luar biasa dahsyat, karena mencakup wilayah yang sangat luas, menembus batas teritorial negara, bahkan antar-benua. Sifat getaran gempa bumi yang sangat kuat dan merambat ke segala arah, mampu menghancurkan bangunan-bangunan sipil yang terkuat sekalipun, sehingga tak ayal lagi sangat banyak memakan korban nyawa manusia. Bahkan gempa bumi sering kali diikuti oleh bencana alam lanjutan yang jauh lebih dahsyat berupa tanah longsor dan gelombang tsunami.
Sebagaimana halnya letusan gunung api dan kejadian bencana alam lainnya, orang-orang primitif tempo doeloe sering menghubung-hubungkan peristiwa terjadinya gempa bumi dengan takhayul dan hal-hal yang di luar nalar sehat. Bukan saja di sini, di luar negeri pun banyak cerita takhayul yang berkaitan dengan gempa bumi tersebut, misalnya yang terdapat di Rumania, Bulgaria, beberapa negara-negara Afrika, Tibet serta beberapa negara lain yang penduduknya menganut kepercayaan tertentu.
Orang Mongolia percaya , setelah bumi selesai dibuat, Tuhan menaruh bumi tersebut di atas pundak seekor katak yang sangat besar. Bila katak bergerak maka terjadilah gempa bumi. Aristoteles (384-322 SM.) menyatakan, kejadian gempa bumi disebabkan keluarnya udara yang terkurung di dalam tanah (Bumi sendawa).
Sampai kini juga masih tersisa mitos pada sebagian penduduk Sunda Jawa Barat, di antaranya ada yang masih percaya bahwa induk penyebab gempa bumi (lini, bahasa Sunda) adalah sebuah batu hidup yang terdapat di puncak gunung. Bila batu tersebut bergerak, maka seluruh Bumi juga akan bergerak, sehingga menimbulkan gempa bumi. Akan tetapi batu tidak mau bergerak selagi di muka dunia ini masih ada makhluk yang bernama manusia.
Secara ilmiah gempa bumi sebenarnya merupakan gejala alam biasa yang dapat dijelaskan bagaimana proses kejadiannya. Bahkan dengan perkembangan ilmu pengetahuan yang semakin maju, maka sekarang sudah dapat diketahui jalur-jalur penyebaran pusat gempa bumi di seluruh dunia beserta sifat-sifatnya. Oleh karena itu kini manusia dapat membuat rancangan bangunan-bangunan sipil yang sesuai dengan karakteristik gempa yang bakal terjadi.
Betapapun demikian, gempa bumi selalu muncul secara mendadak tanpa mengenal waktu dan suasana. Sekalipun bangunan dirancang dengan standar suprastruktur sehingga tingkat keamanannya berlipat ganda, tetap saja berantakan manakala diguncang gempa bumi yang cukup kuat. Contoh aktual adalah terjadinya gempa bumi pada tahun 1995 yang memorak-porandakan Kota Kobe, Jepang.
Negara Indonesia, seperti halnya Jepang merupakan wilayah yang berisiko tinggi terhadap bahaya gempa bumi dan letusan gunung api, kecuali di sebagian P. Kalimantan. Oleh karena itu pengetahuan mengenai gempa bumi dan juga gunung api perlu terus diperdalam dan dikembangkan. Peristiwa gempa dan tsunami pada 26 Desember 2004 yang menelan korban ratusan ribu jiwa, menyadarkan kita semua akan perlunya pengetahuan ini untuk dapat dimiliki, bukan saja oleh setiap instansi dan lembaga, tetapi bagi setiap penduduk Indonesia.
Hakikat gempa bumi
Pada hakikatnya gempa bumi adalah getaran atau serentetan getaran dari kulit bumi yang bersifat tidak abadi dan kemudian menyebar ke segala arah (Howe1,1969).
Sesungguhnya kulit bumi bergetar secara kontinu walaupun relatif sangat kecil. Getaran tersebut tidak dikatakan sebagai gempa bumi karena sifat getarannya terus-menerus. Jadi suatu gempa bumi harus mempunyai waktu awal dan waktu akhir yang jelas.
Ilmu yang secara khusus mempelajari gempa bumi dinamakan seismologi. Ilmu ini biasanya dipelajari bareng bersama vulkanologi (ilmu gunung api), karena kegiatan gunung berapi di antaranya juga dapat menyebabkan terjadinya gempa bumi.
Penyebab terjadinya gempa
Walaupun ternyata sebagian hanya bersifat setempat atau kejadiannya sangat jarang, namun sebagian para ahli tetap menganggap terdapat empat sebab yang menimbulkan gempa bumi, yaitu runtuhnya gua-gua dalam bumi, tabrakan (impack), peledakan gunung api, dan kegiatan tektonik
Runtuhnya gua
Para ahli tempo dulu menduga, gempa bumi terjadi akibat runtuhnya gua-gua raksasa yang terdapat dalam bumi. Dugaan itu sama sekali tidak benar. Keruntuhan seperti itu tidak pernah ada. Kalau saja terjadi keruntuhan dalam bumi, hal itu hanya mungkin pada daerah pertambangan bawah tanah (underground), penggalian batu kapur dan sejenisnya. Akan tetapi keruntuhan yang terjadi hanya dapat menimbulkan getaran bumi yang sangat kecil dan bersifat setempat (lokal).
Tabrakan
Awalnya banyak juga yang percaya, gempa bumi disebabkan meteor atau shooting star yang menabrak bumi. Pada tahun 1908 di Rusia, suatu bintang beralih (meteor) jatuh dan mengakibatkan terjadinya lubang yang sangat besar menyerupai sebuah kawah. Walaupun gelombang tekanan akibat jatuhnya meteor tersebut tercatat sampai London, Inggris, akan tetapi efeknya sama sekali tidak terekam pada alat pencatat getaran gempa bumi (seismograf). Ini berarti getaran yang ditimbulkan akibat tabrakan meteor dengan bumi kekuatannya sangat kecil sekali. Lagi pula tabrakan yang demikian sebenarnya sangat jarang terjadi di bumi.
Peledakan gunung api
Aktivitas gunung api dapat menimbulkan gempa bumi yang dinamakan gempa bumi vulkanik. Gempa ini terjadi baik sebelum, selama, maupun setelah peledakan suatu gunung api. Penyebabnya adalah akibat terjadinya persentuhan antara magma dengan dinding gunung api dan tekanan gas pada peledakan yang sangat kuat, atau perpindahan magma secara tiba-tiba di dalam dapur magma.
Gempa bumi vulkanik sebenarnya kekuatannya sangat lemah dan hanya terasa di wilayah sekitar gunung api yang aktif saja. Dari seluruh gempa bumi yang terjadi, hanya 7 % saja yang termasuk gempa bumi vulkanik. Kendatipun demikian kerusakan atau efek yang ditimbulkannya cukup luas, sebab gempa bumi vulkanik biasanya disertai kemungkinan akan meletusnya suatu gunung api.

Kegiatan tektonik
Gempa bumi yang banyak terjadi dan mempunyai efek sangat serius sebenarnya berasal dari kegiatan tektonik, yaitu mencakup 90 % dari seluruh kejadian gempa bumi. Gempa bumi ini berhubungan dengan kegiatan gaya-gaya tektonik yang tengah terus berlangsung dalam proses pembentukan gunung-gunung, terjadinya patahan-patahan batuan (faults) serta tarikan dan tekanan dari pergerakan lempeng-lempeng batuan penyusun kerak bumi.
Proses kejadian serta jalur pusat-pusat gempa bumi tektonik di seluruh dunia dapat dijelaskan dengan suatu teori dalam Ilmu Kaji Bumi (Geologi) yang dinamakan Tektonik Lempeng (Plate Tectonics).
Kunci utama konsep ini adalah kulit Bumi (Litosfera) merupakan suatu lempeng yang bersifat rigid (tegar) yang bergerak satu terhadap lainnya di atas suatu massa dasar plastis yang dinamakan Astenosfera. Litosfera terdiri atas dua macam lempeng atau kerak (crust), yaitu Lempeng Benua (Continental Plate) dan Lempeng Samudera (Oceanic Plate). Setidaknya dikenal enam lempeng besar (major) yaitu Lempeng Eurasia, Amerika Utara, Amerika Selatan, Afrika, Pasifik dan Hindia-Australia.
Sumber gerak pada bagian dalam Bumi berawal dari adanya perbedaan temperatur antara bagian dalam Bumi yang bersuhu tinggi dan atmosfera yang bersuhu rendah. Perbedaan ini menyebabkan adanya gangguan keseimbangan sehingga menimbulkan terjadinya arus konveksi panas yang selanjutnya menyeret lempeng-lempeng kulit Bumi untuk bergerak mengalir mengapung di atas Astenosfera.
Bentuk Bumi yang bulat menyebabkan pecahan-pecahan lempeng yang terus bergerak itu pada akhirnya ada yang saling bertemu dan bertubrukan. Tubrukan dapat terjadi antara lempeng benua vs lempeng benua, lempeng samudera vs lempeng samudera atau lempeng benua vs lempeng samudera.
Pada kasus tubrukan antara lempeng samudera dengen lempeng benua, maka lempeng samudera akan menekuk ke bawah sehingga terjadi palung, yaitu bentuk laut yang sempit-memanjang dan sangat dalam. Gesekan yang terjadi dari dua lempeng ini menimbulkan panas yang sangat tinggi, sehingga pada permukaannya terbentuk rangkaian gunung api.
Gerak tumbukan itu terus berlangsung sejak dulu, sekarang dan yang akan datang. Sesekali lempeng mengalami retak-retak bahkan patah. Oleh karena ketebalan lempeng lebih dari 50 km, maka setiap kali terjadi retakan dan patahan maka terjadi getaran yang luar biasa kerasnya. Getaran itulah yang kita rasakan sebagai gempa bumi tektonik.
Parameter gempa bumi
Meskipun gempa bumi merupakan peristiwa geologi, namun dampak yang diakibatkannya bersifat menyeluruh. Maka, bidang-bidang lain di luar geologi, terutama Teknik Sipil, Pertambangan, Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG) serta lembaga-lembaga yang berkaitan dengan masalah mitigasi bencana alam, juga berkepentingan untuk dapat memahaminya, setidaknya mengenai peristilahan dan parameter-parameter gempa bumi yang sering digunakan.
Ada sejumlah istilah dan parameter yang berkaitan dengan gempa bumi.

Hiposentrum dan Episentrum
Hiposentrum (hypocentre) adalah pusat gempa bumi, yaitu tempat terjadinya perubahan lapisan batuan atau dislokasi di dalam bumi sehingga menimbulkan gempa bumi. Howell (1969) telah membagi jenis-jenis gempa bumi berdasarkan kedalaman hiposentrumnya, yaitu gempa bumi dangkal (normal), pusatnya < 70 km; gempa bumi sedang (intermedier), pusatnya 70 - 300 km; gempa bumi dalam, pusatnya 300 - 700 km.
Kebanyakan gempa bumi yang terjadi pusatnya terletak dekat permukaan bumi pada kedalaman rata-rata 25 km, dan berangsur ke bawah tidak lebih dari 700 km. Gempa bumi dangkal cenderung lebih kuat dari pada gempa bumi dalam, oleh sebab itu gempa bumi dangkal lebih banyak menyebabkan kerusakan.
Bila hiposentrum terletak di dasar laut maka getaran gempa bumi yang terjadi dapat menimbulkan gelombang air pasang yang sangat besar dengan ketinggian mencapai puluhan meter. Gelombang air laut yang besar seperti ini dinamakan tsunami, bersifat sangat merusak dan dapat memporak-porandakan segala suatu yang diterjangnya di tepi pantai.
Epicentrum (epicentre) adalah tempat di permukaan bumi yang letaknya terdekat terhadap hiposentrum. Letak epicentrum tegak lurus terhadap hiposentrum, dan sekitar daerah ini pada umumnya merupakan wilayah yang paling besar merasakan getaran gempa bumi.
Besarnya intensitas atau kekuatan gempa bumi diukur dengan suatu alat yang dinamakan seismograf data hasil catatan seismograf yang berupa grafik dinamakan seismogram.
Skala Richter atau Richter Magnitude adalah metode kira-kira untuk menentukan besarnya energi yang dilepaskan di pusat gempa bumi. Perkiraan tersebut diformulasikan sebagai berikut :
Log E = 11,4 + 1,5 M
di mana :
E = energi (erg)
M = Richter magnitude.
Skala Modified Mercalli (MMI) digunakan untuk melukiskan goncangan gempa bumi secara kualitatif. Terdiri dari 12 skala (1 hingga 12). Skala membesar berarti gempa bumi yang terjadi semakin besar.***
Agung Mulyo, Ir., M.T.,
Staf Laboratorium Geologi Teknik, Jurusan Geologi Unpad.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar