Senin, 08 Maret 2010

Penulisan Perdagangan Internasional

BAB 1.
PERDAGANGAN INTERNASIONAL

1.1 Pengertian
Perdagangan internasional adalah perdagangan yang dilakukan oleh penduduk suatu negara dengan penduduk negara lain atas dasar kesepakatan bersama. Penduduk yang dimaksud dapat berupa antarperorangan (individu dengan individu), antara individu dengan pemerintah suatu negara atau pemerintah suatu negara dengan pemerintah negara lain.Menurut Amir M.S., bila dibandingkan dengan pelaksanaan perdagangan di dalam negeri, maka perdagangan internasional sangatlah rumit dan kompleks. Kerumitan tersebut disebabkan oleh hal-hal berikut.
Pembeli dan penjual terpisah oleh batas-batas kenegaraan
Barang harus dikirim dan diangkut dari suatu negara kenegara lainnya melalui bermacam peraturan seperti pabean, yang bersumber dari pembatasan yang dikeluarkan oleh masing-masing pemerintah.
Antara satu negara dengan negara lainnya terdapat perbedaan dalam bahasa, mata uang, taksiran dan timbangan, hukum dalam perdagangan dan sebagainya.
1.2 Manfaat Perdagangan Internasional
Menurut Sadono Sukirno, manfaat perdagangan internasional adalah sebagai berikut.
Memperoleh barang yang tidak dapat diproduksi di negeri sendiri
Banyak faktor-faktor yang mempengaruhi perbedaan hasil produksi di setiap negara. Faktor-faktor tersebut diantaranya : Kondisi geografi, iklim, tingkat penguasaan IPTEK dan lain-lain. Dengan adanya perdagangan internasional, setiap negara mampu memenuhi kebutuhan yang tidak diproduksi sendiri.


Memperoleh keuntungan dari spesialisasi
Sebab utama kegiatan perdagangan luar negeri adalah untuk memperoleh keuntungan yang diwujudkan oleh spesialisasi. Walaupun suatu negara dapat memproduksi suatu barang yang sama jenisnya dengan yang diproduksi oleh negara lain, tapi ada kalanya lebih baik apabila negara tersebut mengimpor barang tersebut dari luar negeri.
Sebagai contoh :
Amerika Serikat dan Jepang mempunyai kemampuan untuk memproduksi kain. Akan tetapi, Jepang dapat memproduksi dengan lebih efesien dari Amerika Serikat. Dalam keadaan seperti ini, untuk mempertinggi keefisienan penggunaan faktor-faktor produksi, Amerika Serikat perlu mengurangi produksi kainnya dan mengimpor barang tersebut dari Jepang.Dengan mengadakan spesialisasi dan perdagangan, setiap negara dapat memperoleh keuntungan sebagai berikut
Faktor-faktor produksi yang dimiliki setiap negara dapat digunakan dengan lebih efesien.
Setiap negara dapat menikmati lebih banyak barang dari yang dapat diproduksi dalam negeri.
Memperluas pasar dan menambah keuntungan
Terkadang, para pengusaha tidak menjalankan mesin-mesinnya (alat produksinya) dengan maksimal karena mereka khawatir akan terjadi kelebihan produksi, yang mengakibatkan turunnya harga produk mereka. Dengan adanya perdagangan internasional, pengusaha dapat menjalankan mesin-mesinnya secara maksimal, dan menjual kelebihan produk tersebut keluar negeri.
Transfer teknologi modern
Perdagangan luar negeri memungkinkan suatu negara untuk mempelajari teknik produksi yang lebih efesien dan cara-cara manajemen yang lebih moderen.
1.3 Faktor Pendorong Perdagangan Internasional
Banyak faktor yang mendorong suatu negara melakukan perdagangan internasional, di antaranya sebagai berikut :
Untuk memenuhi kebutuhan barang dan jasa dalam negeri
Keinginan memperoleh keuntungan dan meningkatkan pendapatan negara
Adanya perbedaan kemampuan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam mengolah sumber daya ekonomi
Adanya kelebihan produk dalam negeri sehingga perlu pasar baru untuk menjual produk tersebut.
Adanya perbedaan keadaan seperti sumber daya alam, iklim, tenaga kerja, budaya, dan jumlah penduduk yang menyebabkan adanya perbedaan hasil produksi dan adanya keterbatasan produksi.
Adanya kesamaan selera terhadap suatu barang.
Keinginan membuka kerja sama, hubungan politik dan dukungan dari negara lain.
Terjadinya era globalisasi sehingga tidak satu negara pun di dunia dapat hidup sendiri.
1.4 Sejarah Perkembangan Perdagangan Internasional di Indonesia
A. Perkembangan Perdagangan Internasional ditinjau dari Pengusaha
Perkembangan dunia usaha sekarang ini semakin rumit dan "sophisticated" dimana pola-pola lama dalam perdagangan internasional yang berlaku setelah Perang Dunia II tsb, sudah tidak sesuai lagi dengan kebutuhan Negara-negara yang bersangkutan.Pada decade “80 an pola-pola perdagangan tsb telah berubah yang semula berdasarkan pada kekuatan militer, menjadi pola-pola yang berdasarkan pada pertumbuhan ekonomi. Negara-negara tsb telah meng"klaim" bahwa Negaranya menganut asas "liberalisme" atau "free trade", sedangkan untuk kepentingan dalam negerinya sangat menganut asas "proteksionistis", yang pada dasarnya tidak lain hanya untuk melindungi pasar domestiknya masing-masing dan untuk menjual produk dan jasanya sebanyak-banyaknya ke Negara lain.Bahkan, Negara-negara tsb juga melakukan berbagai cara dengan memasukkan issue-issue hak-asasi, lingkungan hidup, perburuhan, ecolabelling, HAKI, dan sebagainya, yang pada dasarnya -sekali lagi- untuk melindungi kepentingan Negara yang bersangkutan. Kemudian, Negara-negara tersebut juga berupaya membentuk kelompok-kelompok perdagangan yang dirasakan akan semakin memperkuat "posisi bargaining" mereka, misalnya di Eropa dengan MEE-nya, di Amerika Serikat dengan Nafta-nya, di Negara ASEAN dengan AFTA-nya, Singapore dan Amerika Serikat dengan FTA(Free Trade Arrangments)nya, begitu juga di Afrika bagian Utara, Afrika bagian selatan, Caribean, Amerika Latin dan sebagainya.Disamping itu, mereka juga memperjuangkan kepentingan dan interestnya melalui perundingan-perundingan internasional lainnya yang menghasilkan pola-pola perdagangan baru yang dikenal dengan nama WTO, dan sampai sekarang masih dikembangkan ruang lingkupnya.
B. Posisi Indonesia Dimana
Indonesia sendiri dengan penduduk yang berjumlah 240 juta orang telah dikenal sebagai Negara yang mempunyai potensi market sangat luas yang menduduki 10 besar dunia, setelah Amerika Serikat, China, India dan sebagainya.Pasar Indonesia tersebut akan banyak diincar oleh Negara lain dengan cara memasukkan produk dan jasanya ke pasar Indonesia. Disamping itu, terdapat pihak-pihak yang tidak "sabar" dan mengambil jalan pintas dengan cara melakukan penyelundupan baik secara terorganisir maupun tidak terorganisir. Menurut sumber data WTO pada tahun 2001, total World Eksport termasuk jasa adalah 7684 Billion US Dollar. Eksport Indonesia termasuk jasa sebesar 66.9 Billion US Dollar atau sebesar 0,87% dari World Eksport. Total World import termasuk jasa sebesar 7493 Billion US Dollar, sedangkan import Indonesia termasuk jasa adalah 47,8 Billion US Dollar.Didalam menghadapi pola-pola perdagangan tsb ,Negara Indonesia nampaknya masih belum memahami permasalahan yang ada, dan masih mempersoalkan hal-hal bersifat sektoral, eksklusif untuk kepentingannya sendiri-sendiri; sebab masih banyak kebijakan yang belum ditetapkan, dimana masing-masing pihak merasa mempunyai kewenangan untuk menentukan kebijaksanaannya. Hal ini tercermin dengan sering berganti-gantinya kebijaksanaan yang ditetapkan bilamana terjadi pergantian kepemimpinan di pemerintahan bahkan di dalam posisi kepemimpinan yang sama.Seringkali juga terjadi yang disebabkan sangat rumit dan kompleknya permasalahan tsb, cenderung untuk tidak ditangani (dibiarkan menjadi polemik).
Di bawah ini adalah contoh-contoh yang perlu segera ditangani:
a.ekonomi dan moneter;
b.perbankan;
c.penyelundupan;
d.ketenagakerjaan;
e.perpajakan Kepabeanan;
f.hukum dan keamanan;
g.Birokrasi dan pungutan liar;
h.Peningkatan kualitas sarana dan prasarana;
i.Otonomi Daerah;
j.Pertanian, pangan, kelautan, dan perikanan.
Di Jepang, Amerika Serikat, negara-negara Eropa, Thailand, bahkan sekarang ini China; walapun terjadi pergantian kepemimpinan di pemerintahan dan atau partai, kebijaksanaan tersebut tetap konsisten dan tidak berubah, karena kebijaksanaan tersebut adalah yang terbaik untuk negaranya.Jadi, berhasil tidaknya bergantung pada pelaksanaannya, bukan dengan merubah kebijakan yang ada.Permasalahan sebagaimana dinyatakan di atas sekarang ini, sangatlah serius.

C. Langkah-Iangkah Indonesia selanjutnya
Indonesia dengan penduduk yang demikian besar, areal yang demikian luas, cuaca dan iklim yang mendukung sepanjang tahun, kelautan dan kehutanan yang luas, tanah yang subur dan kandungan mineral yang melimpah membuat Negara lain "ngiri" terhadap Indonesia.Tetapi semua ini tidak akan ada gunanya, potensi kekayaan yang besar tsb bahkan dapat menjadi bencana apabila kita tidak mengelolahnya dengan baik. Untuk itu kita, baik di kalangan pemerintahan, lembaga legislative, lembaga judikatif, dikalangan akademisi dan asosiasi pengusaha perlu duduk bersama untuk membuat kebijaksanaan jangka panjang yang tepat.Setelah kebijakan tersebut diambil maka perlu disosialisasikan dan dilaksanakan secara konsisten oleh masing-masing pihak yang terkait.Sedangkan para diplomat, pengusaha dan pihak-pihak yang terkait perlu memperjuangkan kebijakan tersebut agar aturan-aturan internasional yang berlaku atau aturan-aturan internasional yang akan dibuat sesuai dan tidak bertentangan dengan kebijakan yang telah kita ambil dan kita tetapkan bersama. Disamping itu, khususnya dalam upaya mengembangkan usaha kita di Era WTO ini, maka kita para pengusaha khususnya Assosiasi tidak ada pilihan lain kecuali mempelajari, memahami dan menguasai aturan-aturan Internasional tsb dan berperan aktif dalam perundingan-perundingan Internasional, baik secara bilateral, regional, maupun multilateral.Hanya dengan demikian kita akan dapat memanfaatkan aturan-aturan Internasional tersebut untuk mendapatkan "market access" yang lebih luas bagi produk dan jasa kita, sekaligus melindungi pasar dalam negeri dari praktek-praktek "unfair trade".

1.5 Penyebab Terjadinya Perdagangan Internasional
a. Perbedaan Sumber daya alam
Karena beberapa sebab, sumber daya alam yang dimiliki masing-masing negara berbeda. Jarang suatu negara memiliki sumber daya alam yang lengkap untuk memenuni konsumsi sumber daya alam yang beraneka ragam. Untuk mendapatkan sumber daya alam yan dibutuhkan itu, diperlukan pertukaran. Pertukaran itu menyebabkan terjadinya perdagangan internasional. Misalnya, Indonesia banyak mengekspor tekstil ke amerika Serikat karena sumber daya alam yang kita miliki memungkinkan indonesia memproduksi tekstil dengan harga murah. Sebaliknya, dari Amerika Serikat kita banyak mengimpor mobil, karena alat-alat elektronik di Amerika Serikat dapat dihasilkan dengan mudah.

b. Selera
Selera juga dapat menjadi faktor penyebab terjadinya perdagangan internasional. Indonesia mengimpor apel dari Australia padahal buah apel juga ada di Indonesia. Buah apel Indonesia berasal dari Malang dan tempat lainnya. Tetapi, selera orang Indonesia lebih menyukai apel Australia sehingga diimpor.

c. Penghematan Biaya Produksi (Efisiensi)
Perdagangan Internasional memungkinkan suatu negara dapat memasarkan hasil produksinya pada banyak negara. Negara tersebut berproduksi dalam jumlah besar sehingga dapat menurunkan biaya produksi. Barang yang diproduksi dalam jumlah besar akan lebih murah dari barang yang diproduksi dalam jmlah kecil.

d. Perbedaan Teknologi
Ada negara yang telah menggunakan teknologi maju. Sebagian negara masih menggunakan teknologi sederhana. Negara yang menggunakan teknologi maju dapat menjual barang dengan harga murah pada negara yang teknologinya sederhana. Misalnya, Indonesia mengimpor mobil dari Jepang. Karena Jepang telah maju dalam teknologi pembuatan mobil.









BAB 2.
GLOBALISASI DAN DESENTRALISASI: KEUNTUNGAN DARI PERDAGANGAN DOMESTIK DAN PERDAGANGAN INTERNASIONAL YANG TERBUKA.

2.1 Pengertian Menurut Dr William James
Pusat Internasional untuk Pengembangan Asia Tenggara, Jepang Salah satu diantara fakta-fakta yang disesuaikan dengan gaya tertentu yang paling jelas dari pertumbuhan ekonomi modern adalah bahwa hal ini disertai dengan pertumbuhan transaksi ekonomi internasional, khususnya volume perdagangan internasional.

2.2 Latar Belakang
Historis menunjukkan bahwa volume perdagangan dunia (yang diukur dari ekspor) relatif telah meningkat atas produksi dunia dari di bawah dua persen pada awal abad ke 19 menjadi kira-kira 15 persen saat ini (Madison 1995 dan 2000). Selama periode kemakmuran, rasio perdagangan terhadap produksi telah meningkat dan selama periode depresi dan peperangan rasio ini menurun. Misalnya, antara tahun 1820 dan 1929 rasio volume perdagangan terhadap PDB naik dari kurang dari 2 persen menjadi 9 persen, tapi menurun menjadi kira- kira 6 persen sebagai akibat dari Depresi Besar, Perang Dunia II dan dilaksanakannya kebijaksanaan proteksionis yang tersebar luas diantara negara-negara maju. Jelaslah benar bahwa penguatan sistem perdagangan global telah memfasilitasi periode yang luar biasa dari pertumbuhan dan kemakmuran sejak akhir Perang Dunia Kedua. Menurunnya rintangan yang bersifat protektif pada transaksi-transaksi internasional yang berada dibawah GATT/WTO, di tingkat regional dan melalui reformasi sepihak, khususnya dalam pengembangan dan transisi ekonomi telah memudahkan arus perdagangan internasional dan investasi. Peningkatan akibat dalam volume perdagangan yang disebabkan oleh proses liberalisasi ini telah memberikan keuntungan yang luar biasa bagi negara-negara maju dan negara-negara berkembang dengan cara yang sama. Disamping liberalisasi perdagangan dan investasi, kemajuan teknis yang cepat, perbaikan dalam prasarana angkutan dan telekomunikasi dan perluasan perusahaan multi-nasional telah menyumbang kenaikan perdagangan internasional dalam barang dan jasa. Dan sementara perluasan kegiatan ekonomi internasional ini, seringkali diasosiasikan dengan “globalisasi” telah dinyatakan menjadi suatu kecenderungan yang dominan, kenyataannya adalah lebih sederhana jika diukur terhadap perdagangan domestik dan kegiatan ekonomi. Sebagai contoh, ambil pangsa pasar import barang-barang manufaktur dalam konsumsi yang sebenarnya dari manufaktur dari dua ekonomi terbesar di dunia. Di Jepang, pangsa impor dalam konsumsi manufaktur naik dari 6% menjadi 9,6% antara tahun 1988 dan 1997, sementara dalam hal AS, kenaikan terjadi dari 14% menjadi 17%, nyaris merupakan angka-angka yang luar biasa 33 Makalah ini dipresentasikan pada Konferensi Mengenai Perdagangan Dalam Negeri, Desentralisasi dan Globalisasi di Hotel Borobudur, Jakarta, Indonesia, pada tanggal 3 April, 2001, yang diselenggarakan dengan kerjasama antara Partnership for Economic Growth (PEG), the United States Agency for International Development (USAID), dan Departemen Perindustrian dan Perdagangan (Depperindag) Republik Indonesia. PEG adalah sebuah proyek kerjasama antara USAID dengan Pemerintah Indonesia. Pandangan yang diungkapkan dalam makalah ini merupakan pandangan penulis sendiri dan tidak semestinya merupakan pandangan USAID, Depperindag, ataupun Pemerintah Amerika Serikat.

2.3 Bagian dari makalah ini ditulis sebagian dari James
Yang ingin ditambahkan di sini adalah penjualan domestik dari para afiliasi manufaktur perusahaan multinasional asing terhadap impor untuk memperoleh gambaran penuh dari pangsa orang-orang asing dalam konsumsi manufaktur domestik. Akan tetapi, dalam banyak kasus, penjualan tersebut adalah substitusi dari Perlu ditekankan bahwa perdagangan dan produksi domestik tetap merupakan pangsa kegiatan ekonomi yang paling penting daripada globalisasi. Apa yang disebut home bias tercermin dalam studi-studi perdagangan antara negara bagian dan propinsi yang melintang pada salah satu diantara perbatasan yang paling terbuka di dunia, yang memisahkan seluruh benua Kanada dan 48 negara-negara bagian Amerika Serikat di bagian bawahnya. Arus-arus perdagangan di perbatasan AS-Kanada adalah diantara yang paling bebas di dunia. Sejak tahun 1989, kedua negara telah melaksanakan suatu Perjanjian Perdagangan Bebas yang luas dan yang telah meningkatkan gelombang dalam arus perdagangan lintas batas. Meskipun demikian, analisa empiris dari arus perdagangan antar-propinsi di dalam Kanada mengungkapkan bahwa arus tersebut seringkali masih sepadat perdagangan yang mengalir di seluruh perbatasan menuju Amerika Serikat pada tahun 1996 walaupun ada FTA (McCallum tahun 1995 dan Ceglowski tahun 2000). Sekali lagi, hal ini mengemukakan bahwa globalisasi tidak dapat menghilangkan kecenderungan home bias dalam kegiatan perdagangan dan ekonomi. Foreign Direct Investment (Investasi langsung asing/FDI) juga seringkali dikutip sebagai suatu faset utama dari globalisasi, tapi FDI jarang melewati fraksi yang kecil dari formasi modal tetap nasional dan jarang lebih dari 5% dari investasi domestik tahunan. Oleh karenanya, dimensi globalisasi kuantitatif seringkali dilebih-lebihkan.

2.4 Perekonomian Desentralisasi Fiskal di Indonesia
Prospek pertumbuhan dan perkembangan ekonomi nasional dalam Indonesia saat ini kelihatannya bertumpu secara kritis pada keputusan-keputusan yang diambil sehubungan dengan kegiatan ekonomi di tingkat pemerintah lokal. Para penyokong desentralisasi fiskal memperdebatkan bahwa devolusi kekuasaan fiskal kepada pemerintah lokal cenderung meningkatkan efisiensi: pemerintah lokal lebih bertanggung jawab kepada daerah-daerah pemilihan daripada pemerintah pusat dan pemerintah daerah lebih mengetahui informasi mengenai kondisi dan tuntutan lokal untuk barang dan jasa publik (Oates 1972). Oleh karena itu desentralisasi fiskal harus menuntun kepada alokasi sumber-sumberdaya yang lebih efisien dan diharapkan secara positif dapat dihubungkan dengan pertumbuhan dalam PDB per kapita yang sebenarnya dari negara sebagai suatu keseluruhan. 64 Kritik-kritik desentralisasi fiskal telah memperingatkan berbagai bahaya korupsi diantara para pejabat lokal dan kerugian neraca makro ekonomi, suatu masalah yang tidak dapat dianggap ringan dalam konteks Indonesia (Prud’homme 1995). Khususnya, dengan desentralisasi di Indonesia, kekhawatiran telah dikemukakan mengenai kecenderungan otoritas lokal untuk mengenakan pajak-pajak lokal dan pembatasan perdagangan lokal, untuk membatasi hak-hak kewarganegaraan, dan menjalankan kebijaksanaan yang bersifat diskriminasi pada usaha-usaha yang berlokasi di luar kekuasaan hukum lokal (Goodpaster dan Ray 2000). Perpajakan perniagaan yang berlebihan antara wilayah-wilayah dan daerah- daerah akan merugikan kepentingan nasional dengan meningkatkan biaya perusahaan dan individu dalam melakukan usaha, memberi ketidak-pastian lebih jauh dalam lingkungan impor (sebagaimana kasusnya pada para afiliasi otomotif Jepang di AS). Ini mungkin satu alasan dari penurunan yang diamati dalam pangsa pasar impor dari para manufaktur Jepang di pasar AS antara tahun 1988 dan 1997, dari 3,25 menjadi 2,68 persen (James dan Movshuk, 2000). Anderson dan Van Wincoop (2001) memperdebatkan bahwa model McCallumberprasangka dan bahwa, menyatakan dengan benar, bahwa arus perdagangan lintas batas ‘hanya’ 44% lebih kecil dari arus perdagangan antar-propinsi. Untuk diskusi yang bermanfaat dari masalah otonomi regional sekitarnya di Indonesia, lihat Nombo (2000). Suatu studi mengenai China menemukan suatu korelasi yang positif dan signifikan secara statistik antara desentralisasi fiskal dan pertumbuhan dalam PDB per kapita yang sebenarnya antara tahun 1970 dan 1993 (Lin dan Liu 2000). Investasi yang memang sudah sulit, dan dengan menjadikan barang dan jasa Indonesia kurang bersaing dalam pasar-pasar asing.

2.5 Pengalaman Indonesia dengan Otoritas Fiskal Terpusat
Untuk menghargai keinginan yang kuat di tingkat lokal dalam wilayah-wilayah untuk otonomi, adalah penting untuk mengerti sejarah perlakuan wilayah-wilayah oleh pemerintah pusat. Di masa yang lalu, pemerintah pusat menjalankan pengendalian ekonomi dan politik di seluruh pulau di luar Jakarta. Pemerintah pusat sebenarnya memeras keuntungan dari kekayaan sumberdaya alam di wilayah-wilayah dan mendaur-ulangnya untuk mempertahankan kekuasaan politik. Dalam melakukannya, pemerintah pusat harus memastikan bahwa aparat politiknya dapat menyebarkan kemurahan hati yang memadai untuk mendapatkan dukungan yang diperlukannya untuk tetap berkuasa. Penyediaan dana bagi pembangunan regional dan barang umum setempat dari otoritas pusat juga dapat dilihat sebagai suatu cara untuk menyampaikan ketidak-setaraan regional dan mengkonsolidasikan persatuan nasional. Undang-Undang Dasar secara jelas menyebutkan bahwa kekayaan alam Indonesia adalah untuk manfaat seluruh orang Indonesia dan memberikan suatu alasan utama bagi pusat untuk menjalankan pengendalian pusat terhadap kekayaan alam milik bangsa. Pasal 33, baris 3 dari UUD 1945 (Departemen Penerangan, 1989) menyebutkan: “Tanah, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya akan dikendalikan oleh Negara dan digunakan untuk manfaat rakyat yang sebesar-besarnya”. Dalam periode tahun 50-an, pemerintah pusat memulai serangkaian intervensi yang berpuncak pada penyitaan dan nasionalisasi perusahaan-perusahaan asing dan pemindahan modal keluar negeri yang luas. Kebijaksanaan pengendalian valuta dan kebijaksanaan fiskal dan moneter yang tidak disiplin membangkitkan inflasi dan membuatnya sulit untuk secara sah mengambil bagian dalam perdagangan asing. Kombinasi dari kebijaksanaan dan akibat- akibat ekonomis yang berlawanan ini mengasingkan beberapa wilayah sampai pada tingkat pemberontakan bersenjata. Khususnya, nasionalisasi perusahaan-perusahaan Belanda dan milik pribadi asing lainnya termasuk perkebunan yang menghasilkan karet, minyak sawit dan tanaman tunai ekspor lainnya pada tahun 1957, yang membawa penurunan parah yang material dalam penerimaan dan penghasilan ekspor di wilayah-wilayah. Jalan-jalan, pelabuhan-pelabuhan dan prasana lain yang penting bagi perdagangan jatuh ke dalam keadaan parah yang tidak diperbaiki dan diabaikan. Kondisi ekonomi yang lebih menjengkelkan yang dihadapi para penduduk desa adalah pengenaan larangan bagi para pedagang China yang melakukan perdagangan eceran di daerah-daerah terpencil. Kegagalan perdagangan internasional Indonesia mencabut kelangkaan valuta yang diperlukannya untuk impor beras dan bahan-bahan makanan lainnya. Masalahnya menjadi lebih ruwet lagi oleh runtuhnya perdagangan domestik yang disebabkan oleh prasarana yang tua dan ditendangnya para pedagang China dari desa-desa dan kota-kota terpencil. Malapetaka yang diakibatkan dalam ekonomi berpuncak pada hiper-inflasi dan wanprestasi hutang eksternal. Kondisi politik juga menjadi malapetaka dan mengakibatkan keributan dan kekerasan yang meluas pada tahun 1965-66, yang hanya berakhir setelah serangan kekuasaan yang tiba-tiba pada tahun 1967 oleh Jenderal Suharto. Di bawah rezim “Orde Baru”, kebijaksanaan-kebijaksanaan pada wilayah-wilayah dirancang untuk memastikan pengendalian politis yang ketat oleh pihak penguasa tapi juga untuk memajukan perkembangan ekonomi. Berlawanan dengan pemerintah sebelumnya, Orde Baru menggunakan keuntungan fiskal yang tidak disangka-sangka akibat dari meroketnya minyak untuk mempromosikan kegiatan perdagangan dan ekonomi di seluruh negara dan membuat perbaikan prasarana yang luas yang dibutuhkan untuk perdagangan domestik dan internasional. Catatan ekonomi dari Orde Baru di wilayah-wilayah bercampur dengan jelas. Ada sedikit keraguan bahwa pencapaian swa-sembada beras nasional dan perbaikan yang dramatis dalam prasarana, sekolah, kesehatan dan nutrisi masyarakat telah memberi manfaat bagi kebanyakan masyarakat luas dan secara drastis mengurangi tingkat kemiskinan, terutama di daerah-daerah pinggiran (Arndt 1996). Tidak diragukan lagi perbaikan ini telah dikaitkan dengan perdagangan antar-wilayah yang meningkat. Akan tetapi, evaluasi keseluruhan struktur pajak, subsidi dan intervensi perdagangan mengindikasikan bahwa terdapat prasangka yang cukup kuat terhadap kegiatan sektor primer dan yang menguntungkan manufaktur (Garcia-Garcia 2000). Prasangka ini dalam rezim kebijaksanaan keseluruhan berarti bahwa syarat-syarat perdagangan dibebankan terhadap pulau-pulau dan wilayah-wilayah yang jauh dan juga menguntungkan pusat-pusat manufaktur kota di Jawa relatif terhadap bagian lain dari negara. Deregulasi perdagangan internasional mengurangi prasangka-prasangka ini tapi tidak menghilangkannya. Pembatasan ekspor dikenakan pada berbagai macam barang-barang primer, termasuk rotan dan kayu bulat (Sondakh 1996). Perdagangan komoditas tertentu (ternak) yang penting bagi para petani luar pulau dibatasi dan dalam beberapa kasus, dimonopoli (cengkeh dan jeruk). Garcia-Garcia (2000) memperkirakan bahwa perdagangan pemerintah dan intervensi harga yang bertindak sebagai pajak bersih atas produksi pertanian adalah 50 persen pada tahun 1987 dan 25 persenpada tahun 1995 dan bahwa perpajakan pertanian bersih ini melalui perdagangan dan intervensi harga menurunkan penghasilan di Indonesia Timur, Bali, Sumatera dan Kalimantan relatif terhadap Jawa. Dan pengendalian pusat terhadap pemerintah lokal dan propinsi mencegah para warga dari wilayah-wilayah yang jauh untuk menikmati ekspresi politik yang bebas dan membungkam perkembangan masyarakat madani dan lembaga-lembaga lokal. Di wilayah- wilayah yang sulit dikendalikan, pemerintah tidak ragu untuk menggunakan angkatan bersenjata untuk memadamkan setiap penolakan. Di daerah-daerah dengan penduduk yang sedikit yang didominasi oleh penduduk asli (bukan orang Jawa), program transmigrasi yang luas memperkenalkan blanko pemungutan suara yang sudah dibuat bagi pemerintah pusat.

2.6 Gerakan Desentralisasi dan Perdagangan Domestik
Gerakan desentralisasi dan otonomi lokal di wilayah-wilayah saat ini dalam arti yang penting, adalah suatu reaksi yang tidak menyenangkan terhadap pengendalian terpusat yang berlebihan dari pemerintah sebelumnya. Dengan desentralisasi, dapat diprediksi bahwa wilayah-wilayah dan daerah-daerah dengan sumber-sumberdaya alami yang berharga akan menuntut bagian dari keuntungan sumberdaya yang lebih besar. Di semua wilayah, dapat diharapkan pemerintah lokal menuntut untuk menjalankan pengendalian yang lebih pada penggunaan dan pembuangan sumber-sumberdaya alam dan aset-aset lokal. Desentralisasi dan otonomi fiskal lokal, secara teori, dapat menyebabkan kesesuaian yang lebih efisien antara permintaan dan pasokan barang-barang umum di tingkat lokal. Akan tetapi, adalah penting bahwa pemerintah lokal menjalankan kebijaksanaan dan instrumen fiskal yang sesuai. Perpajakan lokal atas properti biasanya akan merupakan sumber pendapatan utama dari pemerintah lokal dan, di kota dan propinsi wilayah, pajak penjualan dan penghasilan dapat juga merupakan yang sesuai.











BAB 3.
PERDAGANGAN BEBAS DAN TERBUKA VERSUS PEMBATASAN PERDAGANGAN: PENGALAMAN EROPA

Perhatikan situasi di Eropa dalam periode yang menuju pada abad ke 18 di awal Revolusi Industri. Bahwa revolusi industri pertama yang dikembangkan di Inggris bukanlah suatu kecelakaan. Walaupun dengan kenyataan bahwa Inggris mempunyai populasi yang lebih kecil, tanah yang kurang subur dan dipisahkan oleh badan-badan air yang berat dari negara-negara tetangga, Inggris, dibanding dengan Perancis dan Jerman, menjadi markas industri modern dan berada sendiri di peringkat pertama dari bangsa bangsa sebelum abad ke Inggris juga merupakan tumpuan intelektual bagi para penyokong perdagangan bebas dan terbuka di abad-abad ke 18 dan 19. Sekolah klasik para ekonom sangat memperhatikan masalah perdagangan bebas. David Ricardo dan John Stuart Mill, mengikuti jejak Adam Smith, mendirikan fondasi-fondasi konsensus untuk peragangan bebas di Inggris. Sebaliknya, di benua dan di tempat lain (misalnya di Jepang dan China), perdagangan bebas dipandang dengan kecurigaan. Akan tetapi, debat publik mengenai doktrin perdagangan bebas mulai condong pada sekolah klasik. Usaha-usaha dalam revolusi tandingan intelektual terhadap perdagangan bebas kebanyakan gagal dan tergantung pada asumsi-asumsi yang aneh. Satu dari elemen-elemen kunci dalam transformasi Inggris yang menakjubkan pada periode ini adalah kenyataan bahwa perniagaan internal dan pergerakan faktor-faktor produksi kebanyakan bebas dan tidak dibatasi tapi tidak dalam kekuasaan benua utama. Landes (1999) menekankan peranan perniagaan internal bebas sebagai suatu variabel yang menerangkan keberhasilan Inggris relatif terhadap kekuasaan benua dan, terutama, memperhatikan banyak pembatasan dan membebani pajak wilayah kekuasaan hukum lokal di dalam Perancis dan Jerman yang diletakkan pada perdagangan internal. Pembatasan internal atas pergerakan bebas dari orang, faktor produksi dan barang mensegmentasikan pasar lokal. Hal ini mencegah usaha dari mengambil keuntungan skala ekonomi dan juga sangat membatasi spesialisasi dan efisiensi dalam produksi. Di Inggris, pembatasan tersebut minimal dan memungkinkan industri berkembang tanpa hambatan, terutama setelah pembatalan Undang-Undang Corn yang membatasi impor biji-bijian. Di Asia, negara-negara yang telah menghalangi arus perniagaan yang secara relatif bebas di dalam perbatasan-perbatasan mereka tertinggal dalam pertumbuhan dan perkembangan. India adalah contoh yang bagus dari dampak negatif dari pembatasan perdagangan domestik tersebut bahkan pada sebuah negara yang besar, yang secara geografis bertetangga yang menghindari suatu kepulauan seperti Indonesia. Pengaruh ekonomi yang merugikan dari pembatasan perdagangan internal diikat untuk menghalangi perkembangan industri dan akan menciptakan kerugian pada produksi ekspor. Disamping merugikan daya Jika seseorang meragukan kehebatan kanal sebagai suatu rintangan, harap dicatat bahwa dalam peperangan besar di abad ke duapuluh, tanah Inggris juga tidak dapat diduduki oleh tentara-tentara Jerman. Berlawanan dengan konsensus intelektual di Inggris, di Perancis dan Jerman, tidak ada konsensus semacam itu (Irwin 1996) dan argumentasi ekonomi untuk proteksi seperti kasus industri yang masih bayi dikembangkan oleh List di Jerman dan Cournot di Perancis. Octroi adalah sebuah istilah Perancis untuk rintangan cukai di tempat masuk kota-kota kecil dan besar. Perkembangan biaya atas perdagangan domestik yang tidak berhubungan dengan perbaikan prasarana adalah cermin kelemahan politik dan ketidakamanan umum (Landes 1999:245). Saing ekspor, rintangan-rintangan terhadap perniagaan domestik akan memperlambat perkembangan produksi domestik tambahan yang mendukung ekspor. Otoritas lokal di Indonesia telah diketahui mendirikan berbagai rintangan pada perdagangan internal untuk memeras uang dari kegiatan perdagangan yang sah. Yang disebut sumbangan pihak ketiga (SPK) telah didokumentasikan dalam studi-studi yang terakhir (Goodpaster dan Ray 2000). Biaya-biaya tidak resmi juga ditemukan ada di pelabuhan, stasiun timbang dan tempat-tempat masuk ke kota-kota kecil dan besar dan ini mewakili pajak atas perdagangan domestik yang meningkatkan biaya dan merugikan para konsumen dan produsen. Pemerasan para pedagang tersebut juga seringkali bersifat diskriminasi dan menjadikan produk-produk yang dihasilkan daerah-daerah lain sebagai target. Pajak perdagangan domestik, terutama yang diberlakukan atas pergerakan produk- produk pertanian dari daerah terpencil yang jauh sangatlah merugikan, dalam hal mereka membuatnya menjadi lebih sulit bagi para petani berpenghasilan rendah untuk mendapat keuntungan dari pasar kota yang jauh di negeri. Perpajakan majemuk dari produk tersebut jelas berlawanan dengan perkembangan lokasi-lokasi yang jauh dan dapat memperlebar perbedaan penghasilan diantara wilayah. Pajak-pajak atas perdagangan internal tersebut juga secara bertolak belakang dapat mempengaruhi pasokan produk untuk ekspor, jika ekspor membutuhkan pergerakan atau pengumpulan internal produk dari pedalaman ke pelabuhan kota, yang seringkali merupakan masalah.

3.1 Teori Pilihan Publik dan Desentralisasi
Mungkin ada beberapa sebab untuk optimisme yang hati-hati karena Indonesia mencari pemecahan proses demokratisasi dan desentralisasi fiskal. Pilihan publik – aplikasi prinsip-prinsip ekonomi pada ilmu pengetahuan politik – telah memajukan konsep “pemberian suara dengan kaki sendiri” (keluar) untuk memeriksa masalah suatu sistem fiskal yang terdesentralisasi di bawah demokrasi. Pemerintah lokal harus bersaing satu sama lain untuk menarik kegiatan usaha, investasi pribadi dan para warga dengan ketrampilan yang memberi manfaat pada masyarakat dan menghindari keluarnya usaha-usaha yang sudah ada dan para warga yang trampil.







BAB 4.
RULE OF ORIGIN DALAM PERDAGANGAN INTERNASIONAL

Dalam kerangka perdagangan internasional setidaknya ada dua putaran negosiasi dagang yang paling akhir setelah disahkannya GATT tahun 1974, yaitu Putaran Tokyo yang diselesaikan tahun 1979 dan Putaran Uruguay yang diselesaikan tahun 1993. Putaran Uruguay adalah yang terpenting dari semua negosiasi dagang multilateral dalam 50 tahun belakangan ini karena berhasil menciptakan organisasi internasional baru, yaitu Organisasi Perdagangan Dunia atau World Trade Organization (WTO) yang bertanggungjawab atas pelaksanaan seperangkat perjanjian-perjanjian yang sudah mengalami perluasan yang sangat besar dalam mengatur perdagangan internasional.
Perjanjian asal barang (Agreement on Rules of Origin) merupakan bagian dari perjanjian, keputusan dan kesepakatan yang termuat dalam Uruguay Round Agreements on Trade in Goods. Dengan demikian perjanjian ini harus diterima secara keseluruhan sebagai paket hasil Perundingan Putaran Uruguay (single undertaking). Pada dasarnya tujuan yang ingin dicapai melalui perjanjian rules of origin adalah mengadakan harmonisasi semua aturan mengenai asal barang (rules of origin) diluar aturan mengenai asal barang yang berkaitan dengan pemberian preferensi tariff dan menjamin bahwa aturan-aturan mengenai asal barang itu tidak menimbulkan rintangan yang tidak dikehendaki terhadap perdagangan.
Disamping itu pertimbangan lainnya dalam perundingan mengenai Rules of Origin adalah:
a. Keyakinan bahwa adanya ketentuan asal barang yang penerapannya jelas dan dapat diprediksi akan dapat meningkatkan arus perdagangan internasional;
b. Perlunya peraturan tentang undang-undang, ketentuan dan praktek-praktek mengenai asal barang yang transparan;
c. Perlu adanya suatu mekanisme dan prosedur konsultasi yang cepat, efektif, dan pemecahan yang adil atas sengketa yang timbul;
d. Diperlukan aturan di bidang ini untuk mencapai tujuan GATT lebih jauh lagi;
e. Menjamin bahwa ketentuan asal barang tidak menghilangkan atau merugikan hak-hak contracting party dalam GATT;
f. Menjamin bahwa ketentuan asal barang dibuat dan diterapkan secara adil, transparan, dapat diprediksi, konsisten dan netral.
Ketentuan rules of origin ini terdiri dari empat bagian. Pertama, Defenition and Coverage yang memuat penetapan mengenai batasan dan cakupan rules of origin.
Kedua, Discipline to Govern the Application of Origin yang memuat tata cara yang berlaku dalam penerapan rules of origin.
Ketiga, Procedural Arrangement on Notification, Review, Consultation and Dispute Settlement yang memuat tata cara prosedur notifikasi, tinjauan, konsultasi dan penyelesaian sengketa. Keempat, Harmonization of Rules of Origin yang mengatur tentang proses harmonisasi ketentuan rules of origin.
Ketentuan asal barang didefenisikan sebagai undang-undang, peraturan dan ketentuan administratif yang ditetapkan oleh setiap negara anggota untuk menentukan negara asal barang, sepanjang ketentuan rules of origin tersebut tidak berkaitan dengan contractual or aotonomous trade … leading to the granting of tariff preferences yang dilaksanakan di luar Pasal I : 1 GATT.
Cakupan ketentuan rules of origin yang diatur meliputi semua ketentuan rules of origin yang digunakan dalam non-prefential commercial policy instrument. Selain itu dicakup pula ketentuan asal barang yang digunakan untuk barang-barang keperluan pemerintah dan untuk kepentingan pengumpulan statistik perdagangan.
Penerapan ketentuan rules of origin diatur untuk masa transisi sebelum dicapainya harmonisasi ketentuan rules of origin. Oleh karena itu proses menuju harmonisasi tersebut dapat dibedakan dalam tiga bagian yaitu pada masa transisi, setelah transisi dan pelaksanaan harominisasi ketentuan rules of origin.
Pada masa transisi diupayakan negara anggota WTO menjamin penerapan ketentuan administratif dan diaturnya persyaratan yang jelas. Hal ini dilakukan berdasarkan kriteria perubahan klasifikasi tariff, kriteria persentase dan kriteria proses. Keseluruhan kriteria harus meliputi hal-hal seperti sub-heading dan heading dari nomenclature tariff. Begitu pula dalam hal kriteria perubahan klasifikasi tariff, metode menghitung persentase dalam hal kriteria persentase ad-valorem, dan kriteria proses atau manufaktur.
Hal yang perlu diperhatikan negara anggota adalah penetapan kriteria asal barang tidak boleh digunakan sebagai alat kebijaksanan perdagangan dan tidak boleh digunakan sebagai alat untuk mencapai tujuan kebijaksanaan perdagangan baik langsung maupun tidak langsung. Ketentuan asal barang tidak boleh menimbulkan restriksi, distorsi, bersifat non-diskriminatif dan destruktif dalam perdagangan internasional.
Perubahan ketentuan asal barang oleh negara tidak dapat diterapkan secara retroaktif serta tidak mengesampingkan peraturan atau undang-undang yang ada. Ketentuan rules of origin harus dipublikasikan bilamana hal itu terkait dengan Pasal XI: 1 GATT (publication and adminstration of trade regulation).
Setelah harmonisasi ketentuan asal barang dicapai, maka barulah negara anggota menerapkan ketentuan asal barang sesuai dengan tujuan yang tercantum dalam defenisi dan cakupan mengenai ketentuan rules of origin dalam perjanjian ini.
Ketentuan asal barang yang diterapkan akan menentukan bahwa suatu negara ditetapkan sebagai negara asal barang bilamana barangnya secara keseluruhan dihasilkan oleh negara tersebut atau dalam hal produksi suatu barang melibatkan lebih dari satu negara, maka negara asal barang tersebut adalah negara yan melakukan last substansial transformation.
Pelaksanaan harmonisasi ketentuan rules of origin ialah untuk menerapkan ketentuan asal barang yang sesuai dengan defenisi dan cakupan dalam perjanjian diatas.
Dengan demikian maka suatu negara dapat ditetapkan sebagai negara asal barang karena:
a. Keseluruhan produk yang bersangkutan dihasilkan seluruhnya di negara tersebut
b. Dalam hal dimana proses produksinya melibatkan lebih satu negara, maka suatu negara yang melakukan last substansial transformation ditetapkan sebagai negara asal barang.

Harmonisasi juga bertujuan agar suatu ketentuan asal barang dapat menjadi objektif, dapat dimengerti dan dapat diprediksi sehingga tidak menimbulkan hambatan bagi perdagangan internmasional. Adanya keseragaman, penanganan administrasi yang konsisten, adil dan tidak mengada-ada dalam penerapan ketentuan asal barang, koheren, dan berdasarkan suatu standar positif, juga merupakan tujuan dari harmonisasi ketentuan asal barang.














BAB 5.
KEBIJAKAN PERDAGANGAN INTERNASIONAL


5.1 Pengertian Kebijakan Perdagangan Internasional
Kebijakan adalah suatu kecermatan, ketelitian, dan langkah yang diambil untuk mengatasi sesuatu masalah. Kebijakan diambil berdasarkan fakta-fakta dan pengalaman masa lalu. Kebijakan Perdagangan Internasional adalah rangkaian tindakan yang akan diambil untuk mengatasi kesulitan atau masalah hubungan perdagangan internasional guna melindungi kepentingan nasional.
5.2 Jenis-jenis Kebijakan Perdagangan Internasional
Jenis-jenis kebijakan dapat diberlakukan untuk impor dan untuk ekspor
a. Kebijakan perdagangan interrnasional di bidang impor
Ada beberapa keburukan mengimpor suatu barang. Salah satunya adalah perusahaan dalam negeri yang memproduksi jenis barang yang sama akan gulung tikar karena kalah bersaing dengan barang impor. Untuk itulah, pemerintah harus melindungi atau beertindak untuk mengatasi keburukan itu dengan jalan memberi perlindungan. Perlindungan itu banyak jenisnya. Pada uraian berikut akan dibahas tindakan atau kebijakan apa yang dapat diambil untuk mengatasi dampak buruk dari mengimpor barang.
Kuota. Kuota merupakan jumlah yang ditetapkan untuk suatu kegiatan dalam satu masa atau suatu waktu tertentu. Jadi, kuota dalam impor adalah total jumlsh barang yang dapat diimpor dalam masa tertentu. Jumlah itu diperkirakan tidak akan mengganggu industri dalam negeri. Ketika diberlakukan perdagangan bebas, kuota tidak dapat dipakai lagi karena dapat menghambat perdagangan internasional.
Tarif. Politik tarif diambil pemerintah dengan menetapkan tarif tinggi untuk mengimpor suatu jenis barang. Dengan pengenaan tarif ini, harga barang impor menjadi mahal, sehinggs barang sejenis yang diproduksi didalam negeri akan memiliki daya saing dan dibeli konsumen. Penganut perdagangan bebas mengenakan tarif yang rendah atas barang-barang impor. Sebaliknya, negara proteksionis akan menetapkan tarif yang tinggi untuk barang impor.
Subsidi. Karena ada perbedaan harga antara barang impor dan barang dalam negeri, ada kemungkinan harga barang impor lebih murah daripada harga barang produksi dalam negeri. Supaya harga barang produksi dalam negeri dapat ditekan, pemerintah dapat memberi subsidi pada produsen. Dengan pemberian subsidi ini, harga barang dalam negeri menjadi murah.
Larangan Impor. Dengan berbagai alasan, ada baran tertentu yang dilarang diimpor. Misalnya, barang-barang yang berbahaya untuk masyarakat. Larangan impor mungkin dilakukan untuk membalas tindakan negara lain yang telah terlebih dahulu melarang impor barang negara kita. Mungkin juga, larangan impor dikeluarkan untuk menghemat devisa.

b. kebijakan perdagangan internasional di bidang ekspor
Diskriminasi Harga. Suatu tindakan dalam penetapan harga barang yang berbeda untuk suatu negara dan negara lainnya. Untuk barang yang sama, harga untuk negara yang satu lebih mahal atau lebih murah dibandingkan dengan negara lainnya. Hal ini dilakukan atas dasar perjanjian atau dalam rangka perang tarif.
Pemberian Premi (Subsidi). Kebijakan yang diambil pemerintah untuk memajukan ekspor dengan memberi premi kepada badan usaha yang melakukan ekspor. Antara lain, berupa pemberian bantuan biaya produksi, pembebasan pajak dan fasilitas lain dengan tujuan agar barang ekspor memiliki daya saing diluar negeri.
Dumping. Kebijakan yang diambil oleh pemerintah dengan menetapkan barang ekspor (harga barang di luar negeri) lebih murah dibandingkan dengan harga didalam negeri. Cara dumping ini dapat dilakukan jika pasar dalam negeri dapat dikendalikan tau dikontrol oleh pemerintah.
Politik Dagang Bebas. Politik dagang bebas merupakan suatu kebijakan di mana masing-masing pemerintah memberi kebebasan dalam ekspor dan impor.



BAB 6.
MACAM-MACAM PERDAGANGAN INTERNASIONAL

6.1.1 Perdagangan Bilateral
Perdagangan Bilateral adalah perdagangan internasional yang dilakukan oleh dua negara. Kedua negara itu melakukan transaksi dibidang perdagangan. Indonesia banyak terlibat dalam hubungan dagang dengan jepang atau Amerika Serikat.

6.1.2 Perdagangan Regional
Perdagangan Regional adalah perdagangan yang dilakukan oleh suatu negara dengan negara lain atau antara satu negara dan dua negara atau lebih pada suatu kawasan. Perdagangan antara indonesia dan Malaysia atau Indonesia dan Thailand dan Filiphina sekaligus, dalam rngka kerja sama ASEAN merupakan contoh perdagangan regional. Sebenarnya perdagangan regional sama saja dengan perdagangan bilateral. Perbedaannya adalah bahwa perdagangan regional dilakukan dalam rangka kerja sama atau perjanjian dalam satu kawasan yang diikat oleh suatu kesepakatan.

6.1.3 Perdagangan Multilateral
Perdagangan Multilateral adalah perdagangan yang dilakukan oleh banyak negara. Perdagangan multilateral merupakan penerapan politik ekonomi yang bebas dari isolasi dengan suasana saling menguntungkan, sesuai dengan anjuran Adam Smith.

6.1.4 Perdagangan Antarregional
Perdagangan antarregional adalah perdagangan yang dilakukan oleh suatu kawasan dengan kawasan lainnya. Contih adalah hubungan dagang antara ASEAN dan Masyarakat Ekonomi Eropa (MEE).


BAB 7. KESIMPULAN

Jika desentralisasi adalah untuk mendatangkan manfaat bagi daerah kekuasaan hukum lokal di Indonesia, karena ia menjanjikan untuk mengimbangi pasokan dan permintaan untuk barang-barang umum lokal dengan lebih efisien daripada yang dapat dilakukan di pusat, penggunaan instrumen-instrumen fiskal yang sesuai adalah penting. Gagasan dari konferensi ini akan memberikan masukan yang bagus ke dalam diskusi dan debat publik mengenai instrumen-instrumen ini. Rekomendasi untuk mengizinkan perdagangan bebas dan terbuka,pergerakan faktor-faktor produktif dan orang-orang di dalam negeri dan untuk mempertahankan perdagangan internasional dengan pengurangan rintangan-rintangan perdagangan yang berlanjut adalah solusi terbaik pertama. Adalah penting untuk mengetahui bahwa perdagangan dan intervensi harga yang ada berlawanan dengan kepentingan para produsen dan konsumen di luar pulau dan bertindak sebagai pajak atas penghasilan para produsen pertanian. Oleh karena itu, liberalisasi perdagangan yang sedang berlangsung bertindak sebagai suatu kebijaksanaan untuk meningkatkan prospek untuk perkembangan di luar pulau, terutama di masyarakat pedalaman. Meskipun mungkin tidak realistis untuk berpkir bahwa pengenaan pajak perdagangan domestik oleh otoritas lokal dapat dikendalikan dan diminimalkan, usaha masih harus dikerahkan untuk membuat arus perdagangan domestik tetap bebas. Otoritas lokal telah menunjukkan suatu kebanggaan mengenakan pajak yang sewenang-wenang pada perdagangan domestik dan mengenakan denda atau biaya pada para pedagang dan perusahaan angkutan di berbagai tempat masuk, pelabuhan, stasiun timbang, dsb. Pajak-pajak ini tidak berkaitan dengan penyediaan barang dan jasa publik dan sepenuhnya merupakan bentuk-bentuk tingkah laku untuk mengambil keuntungan. Sayangnya, rintangan perdagangan domestik ini memiliki pengaruh yang berlawanan pada para produsen dan konsumen dan dapat mengurangi daya saing produk-produk Indonesia di pasar-pasar luar. Rintangan-rintangan ini bukan hanya mengurangi efisiensi ekonomi, mereka jugamungkin merugikan para produsen di daerah-daerah yang jauh dan relatif terpencil terhadap yang ada di Jawa dan pusat-pusat kota. Pengumpulan pajak-pajak yang tidak sah atas perdagangan domestik merupakan akibat dari kurangnya otoritas pemerintah lokal dalam menggunakan sumber-sumber pendapatan alternatif, yang lebih sesuai. Disamping itu, penegakan undang-undang anti korupsi untuk menghukum para pejabat yangberusaha untuk secara tidak sah mengenakan pajak perdagangan akan diperlukan. Beberapa bentuk pengaturan pembagian pendapatan dengan pusat yang memberi insentif yang sesuai kepada pemerintah lokal adalah penting sebagaimana pentingnya devolusi otoritas perpajakan properti. Yang tetap lebih penting adalah reformasi birokrasi pelayanan sipil dan investasi dalam pengembangan sumberdaya manusia. Kemampuan para pegawai negeri di wilayah-wilayah untuk memberikan pelayanan publik setempat sangat penting bagi perkembangan ekonomi di tingkat jalanan, yang akan menentukan keberhasilan desentralisasi. Penentuan siapa yang menanggung beban pajak (tingkat pajak) antara para produsen dan konsumen tergantung pada suatu perangkat harga, penghasilan dan elastisitas substitusi yang ruwet, serta pada mobilitas faktor-faktor produksi (Break 1974). Polinsky dan Shavell (2000) membicarakan penggunaan denda dan pencegahan dalam penegakan hukum publik.


DAFTAR PUSTAKA

www. Google. Com.
http://id.wikipedia.org/wiki/Perdagangan Imternasional
www.kompas.com
www.indonesia.com
www.budpar.go.id
www.bappenas.go.id
www.unpar.ac.id
www.bi.go.id
Alam S, Drs., Ekonomi. Jakarta: Penerbit Erlangga, 2001.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar